Kamis, 22 Oktober 2009

Jadi Jurnalis Profesional Tak Semudah Apa Yang Orang Katakan


Media Pembaharuan Jakarta,- Siapa bilang jadi wartawan itu mudah? Hanya orang yang tidak paham industri media saja yang akan memandang sebelah mata kualifikasi seorang jurnalis, reporter, atau penulis.
Jurnalis handal lahir dari sebuah sistem pendidikan jurnalisme yang terstruktur dan mengikuti kaidah-kaidah kurikulum standar. Itulah sebabnya sangat penting memberikan perhatian terhadap proses pendidikan jurnalisme di Indonesia. Jamak dipahami, kini semakin banyak ditemui praktik jurnalisme yang tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalisme standar. Mulai dari cara penulisan yang semrawut, kesalahan penulisan nama narasumber dan lokasi peristiwa, kesalahan penggunaan tanda baca, hingga verifikasi data yang acapkali tidak akurat. Padahal, akurasi adalah salah satu disiplin penting dalam jurnalisme.
Foto: Media Pembaharuan Jakarta,- Siapa bilang jadi wartawan itu mudah?
Hanya orang yang tidak paham industri media saja yang akan memandang sebelah mata kualifikasi seorang jurnalis, reporter, atau penulis.
Jurnalis handal lahir dari sebuah sistem pendidikan jurnalisme yang terstruktur dan mengikuti kaidah-kaidah kurikulum standar.

Itulah sebabnya sangat penting memberikan perhatian terhadap proses pendidikan jurnalisme di Indonesia. Jamak dipahami, kini semakin banyak ditemui praktik jurnalisme yang tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalisme standar. Mulai dari cara penulisan yang semrawut, kesalahan penulisan nama narasumber dan lokasi peristiwa, kesalahan penggunaan tanda baca, hingga verifikasi data yang acapkali tidak akurat. Padahal, akurasi adalah salah satu disiplin penting dalam jurnalisme.

Jika demikian, apa yang salah dengan dunia jurnalisme di Indonesia? Dari mana mesti memulai upaya perbaikan? Salah satunya tak lain dari sistem pendidikan jurnalisme. Lebih khusus lagi bisa bermula dari penyusunan kurikulum.
Adalah Unesco, sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menaruh concern terhadap pengembangan kurikulum jurnalisme ini. Tahun 2007 lalu, Unesco menerbitkan sebuah buku berjudul “Model Curricula for Journalism Education”. Buku ini disusun oleh 22 pakar jurnalisme dari berbagai negara seluruh dunia, mewakili setiap region.

Tahun ini, buku dimaksud sedang diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia oleh Unesco dengan judul “Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Jurnalisme”. Sebagai salah satu cara menyosialisasikan berbagai gagasan dalam buku ini, kantor saya, Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat bekerjasama dengan Unesco Indonesia, mengadakan diskusi buku tersebut di empat kota besar –Jakarta, Surabaya, Medan, dan Jogjakarta.

Jakarta, mendapat kesempatan pertama sebagai tuan rumah diskusi, yang diselenggarakan Selasa (20/10) di hotel Marcopolo, Menteng. Sekitar 20-an peserta diskusi berasal dari penerbit media cetak dan, lembaga pendidikan jurnalisme, dan organisasi wartawan, menghadiri acara ini. Tiga narasumber tampil membawakan catatan terhadap buku Unesco ini. Mereka adalah Henri Subiakto, Staf Ahli Menkominfo, Zulkarimein Nasution dari Asosiasi Pendidikan Jurnalisme Indonesia, dan M Ridlo ‘Eisy, Ketua Harian SPS Pusat.

“Buku ini menjadi penting, ketika profesionalisme dan kapabilitas wartawan dalam meliput banyak hal ”masih lemah”. Seperti munculnya banyak kritik terhadap liputan bencana yang dianggap kurang etis dengan menayangkan korban bencana secara transparan,” ujar Henri mengawali komentarnya terhadap isi buku Unesco. Buku Unesco memang menawarkan tentang praktik-praktik profesional seorang jurnalis yang harus dilalui dari magang, dan seterusnya. Seorang wartawan harus memiliki banyak ilmu. “Jika demikian, kurikulum seperti apa yang perlu disusun untuk mencetak wartawan dengan kompetensi yang cukup kompleks sebagaimana tuntutan profesionalisme jurnalis masa kini dan masa depan?” sambung Henri.

Paling tidak, kata Henri, buku Unesco bisa menjadi panduan dalam menyusun kurikulum bagi pendidikan jurnalisme di perguruan tinggi maupun secara in-house di setiap perusahaan media cetak. Satu hal penting yang disoroti Henri adalah menyangkut persoalan etika. ”Etika berada di wilayah personal. Ketika wilayah personal ini bertemu dengan lingkungan perusahaan tempat seorang jurnalis bekerja, maka di situlah etika personal tadi akan berhadapan dengan etika struktural yang berasal dari manajemen perusahaan.” Perbenturan etika personal versus etika struktural ini perlu perhatian khusus untuk dijadikan bahan dalam kurikulum pendidikan jurnalisme. Agar persoalan etika tidak hanya berhenti dalam discourse, melainkan mampu menjelma dalam praksis sehari-hari di lingkungan jurnalis.

Sementara itu, Zulkarimein Nasution menegaskan bahwa buku Unesco ini sekadar sebuah model. “Sebagai sebuah model, tentu buku ini tidak bisa ditiru mentah-mentah dalam merancang sebuah kurikulum pendidikan jurnalisme. Ia lebih sebagai alternatif untuk memberikan masukan-masukan saja,” ungkap pengajar Program Studi Jurnalisme di FISIP, Universitas Indonesia, ini.

Adapun M Ridlo ‘Eisy lebih banyak menyorot masalah kesenjangan antara keluaran perguruan tinggi ilmu komunikasi atau jurnalisme dengan yang bukan berlatar belakang jurnalisme. “Hanya sedikit wartawan di Indonesia yang berasal dari disiplin ilmu komunikasi atau jurnalisme,” paparnya. Sebuah tanggapan lugas justru datang dari Marah Sakti Siregar, salah satu peserta diskusi. “Konsep buku Unesco ini sangat exellence, karena berupaya menegakkan kembali roh jurnalisme yang sejati agar tidak berada di bawah ”ketiak” komunikasi. Saat ini ada penyamaran antara jurnalisme dengan komunikasi, pekerjaan wartawan disamarkan dengan pekerjaan komunikasi biasa.”

Masih Marah Sakti, ”Pekerjaan wartawan adalah pekerjaan watch dog. Jurnalis adalah orang-orang yang mau bekerja untuk membela masyarakat yang terpinggirkan, terbelakang, untuk publik, dan bukannya untuk mengabdi kepada penguasa.”

Di penghujung acara, saya membagi peserta menjadi dua kelompok, untuk menyusun rekomendasi bagi lembaga pendidikan jurnalisme maupun kepada penerbit pers. ***

Rekomendasi Kelompok Jalur Akademisi:

1. Mengulang atau menyampaikan kembali surat dari pengurus SPS Pusat kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, yang ditembuskan kepada rektor-rektor yang memiliki jurusan jurnalistik serta asosiasi pendidikan, untuk berdialog mengenai kurikulum pendidikan jurnalisme.
2. Menyampaikan kepada Komisi I dan Komisi X DPR yang antara lain membidangi masalah pers, tentang perlunya perhatian terhadap School of Journalism.
3. Status atau level pendidikan jurnalistik ditingkatkan menjadi fakultas di Perguruan Tinggi.
4. Tolok ukur yang digunakan untuk akreditasi Perguruan Tinggi tidak menjadi hambatan untuk pengembangan kurikulum jurnalistik.
5. Mendesak kepada seluruh Perguruan Tinggi yang memiliki jurusan jurnalistik untuk membenahi dan menata ulang SDM dan rasio pengajar berbanding mahasiswa serta fasilitas lainnya.
6. Menganjurkan lembaga pendidikan Non Jurnalistik yang mempunyai mata kuliah jurnalistik agar merujuk pada kurikulum model UNESCO.
7. Lembaga-lembaga Pendidikan Jurnalistik Non Perguruan Tinggi agar  mendayagunakan kurikulum dan membenahi tenaga kerjanya.
8. Lembaga-lembaga pendidikan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan jurusan/prodi jurnalistik diingatkan untuk menjaga kualitas proses pendidikan dan mutu lulusannya.

Anggota Kelompok:
1. Rahmi Rizal (Majalah UMMI).
2. Paulus Sulasdi (Harian WARTA KOTA).
3. Audrin (Tabloid PULSA).
4. FA. Santoso (Harian KOMPAS).
5. Avsal (Harian SUARA PEMBARUAN).
6. Maskun Iskandar (Lembaga Pers Dr Sutomo).
7. M. Ihsan (Majalah WARTA EKONOMI).
8. Willy Pramudya (Aliansi Jurnalis Independen)
9. Mahya Ramdhani (Harian PELITA).

Rekomendasi Kelompok Jalur Praktisi:
A. Untuk the next  journalist:
1. Roh jurnalisme harus ditegakkan melalui sebuah kurikulum yang tegas mendudukkan posisi  profesionalisme wartawan. Bahwa wartawan profesional itu bekerja untuk kepentingan masyarakat/rakyat yang terpinggirkan.
2. Menegakkan aturan yang tegas dan mampu mencegah  pemilik media mengarahkan wartawan  sepenuhnya untuk kepentingannnya atau kelompoknya.
3. Perlu ada visi dan misi yang ideal dan jelas dari pendidikan dan profesi jurnalisme.  Bahwa media berperan sebagai  alat sepenuhnya  untuk kepentingan publik
4. Perlu standar pendidikan jurnalisme yang jelas dan baku.
5. Perlu penegakan etika profesi dan revitalisasi kode etik jurnalistik agar sesuai dengan perkembangan zaman.
6. Wartawan wajib memiliki kompetensi seperti tercantum dalam panduan kurikulum Unesco.
7. Memfokuskan kurikulum pendidikan  jurnalisme dengan tetap berbasis kompetensi.
8. Perlu penajaman kategori dan karakteristik jurnalistik cetak, televisi, radio, dan online.
9. Membangun karakter jurnalis yang berpikir kritis dan logis.

B. Untuk the existing journalist:
1. Terus mengupayakan lewat berbagai cara (pelatihan atau diklat)untuk meningkatkan profesionalisme wartawan.
2. Perlu penguatan peran atau kinerja dari institusi pengawas media, organisasi  wartawan, dan organiasi perusahaan pers untuk  mengarahkan wartawan menjadi pekerja profesional.
3. Mendorong semua media untuk meratifikasi regulasi perusahaan media yang sehat di bawah pengawasan Dewan Pers.
4. Perusahaan/penerbit pers agar lebih memperhatikan jenjang karier dan kualitas kesejahteraan wartawan.

Jakarta,  20 Oktober  2009
Kelompook II

1. Marah Sakti Siregar (Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat).
2. A Hamid Dipopramono (Harian JURNAL NASIONAL).
3. Hari G (Harian INVESTOR DAILY).
4. Endang Werdiningsih (Majalah KARTINI).
5. Melly Trirahmi (Majalah KARTINI).
6. Siti Afifiyah (Tabloid WANITA INDONESIA).
7. Yohannes Widada (Harian MEDIA INDONESIA).
8. Muhammad Yulius (ANNIDA Online).
Photo Diskusi Buku Unesco di Hotel Marcopolo Jakarta
Jika demikian, apa yang salah dengan dunia jurnalisme di Indonesia? Dari mana mesti memulai upaya perbaikan? Salah satunya tak lain dari sistem pendidikan jurnalisme. Lebih khusus lagi bisa bermula dari penyusunan kurikulum.
Adalah Unesco, sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menaruh concern terhadap pengembangan kurikulum jurnalisme ini. Tahun 2007 lalu, Unesco menerbitkan sebuah buku berjudul “Model Curricula for Journalism Education”. Buku ini disusun oleh 22 pakar jurnalisme dari berbagai negara seluruh dunia, mewakili setiap region. Tahun ini, buku dimaksud sedang diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia oleh Unesco dengan judul “Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Jurnalisme”. Sebagai salah satu cara menyosialisasikan berbagai gagasan dalam buku ini, kantor saya, Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat bekerjasama dengan Unesco Indonesia, mengadakan diskusi buku tersebut di empat kota besar –Jakarta, Surabaya, Medan, dan Jogjakarta.
Jakarta, mendapat kesempatan pertama sebagai tuan rumah diskusi, yang diselenggarakan Selasa (20/10) di hotel Marcopolo, Menteng. Sekitar 20-an peserta diskusi berasal dari penerbit media cetak dan, lembaga pendidikan jurnalisme, dan organisasi wartawan, menghadiri acara ini. Tiga narasumber tampil membawakan catatan terhadap buku Unesco ini. Mereka adalah Henri Subiakto, Staf Ahli Menkominfo, Zulkarimein Nasution dari Asosiasi Pendidikan Jurnalisme Indonesia, dan M Ridlo ‘Eisy, Ketua Harian SPS Pusat.
“Buku ini menjadi penting, ketika profesionalisme dan kapabilitas wartawan dalam meliput banyak hal ”masih lemah”. Seperti munculnya banyak kritik terhadap liputan bencana yang dianggap kurang etis dengan menayangkan korban bencana secara transparan,” ujar Henri mengawali komentarnya terhadap isi buku Unesco. Buku Unesco memang menawarkan tentang praktik-praktik profesional seorang jurnalis yang harus dilalui dari magang, dan seterusnya. Seorang wartawan harus memiliki banyak ilmu. “Jika demikian, kurikulum seperti apa yang perlu disusun untuk mencetak wartawan dengan kompetensi yang cukup kompleks sebagaimana tuntutan profesionalisme jurnalis masa kini dan masa depan?” sambung Henri.

Paling tidak, kata Henri, buku Unesco bisa menjadi panduan dalam menyusun kurikulum bagi pendidikan jurnalisme di perguruan tinggi maupun secara in-house di setiap perusahaan media cetak. Satu hal penting yang disoroti Henri adalah menyangkut persoalan etika. ”Etika berada di wilayah personal. Ketika wilayah personal ini bertemu dengan lingkungan perusahaan tempat seorang jurnalis bekerja, maka di situlah etika personal tadi akan berhadapan dengan etika struktural yang berasal dari manajemen perusahaan.” Perbenturan etika personal versus etika struktural ini perlu perhatian khusus untuk dijadikan bahan dalam kurikulum pendidikan jurnalisme. Agar persoalan etika tidak hanya berhenti dalam discourse, melainkan mampu menjelma dalam praksis sehari-hari di lingkungan jurnalis.

Sementara itu, Zulkarimein Nasution menegaskan bahwa buku Unesco ini sekadar sebuah model. “Sebagai sebuah model, tentu buku ini tidak bisa ditiru mentah-mentah dalam merancang sebuah kurikulum pendidikan jurnalisme. Ia lebih sebagai alternatif untuk memberikan masukan-masukan saja,” ungkap pengajar Program Studi Jurnalisme di FISIP, Universitas Indonesia, ini.

Adapun M Ridlo ‘Eisy lebih banyak menyorot masalah kesenjangan antara keluaran perguruan tinggi ilmu komunikasi atau jurnalisme dengan yang bukan berlatar belakang jurnalisme. “Hanya sedikit wartawan di Indonesia yang berasal dari disiplin ilmu komunikasi atau jurnalisme,” paparnya. Sebuah tanggapan lugas justru datang dari Marah Sakti Siregar, salah satu peserta diskusi. “Konsep buku Unesco ini sangat exellence, karena berupaya menegakkan kembali roh jurnalisme yang sejati agar tidak berada di bawah ”ketiak” komunikasi. Saat ini ada penyamaran antara jurnalisme dengan komunikasi, pekerjaan wartawan disamarkan dengan pekerjaan komunikasi biasa.”
Masih Marah Sakti, ”Pekerjaan wartawan adalah pekerjaan watch dog. Jurnalis adalah orang-orang yang mau bekerja untuk membela masyarakat yang terpinggirkan, terbelakang, untuk publik, dan bukannya untuk mengabdi kepada penguasa.”
Di penghujung acara, saya membagi peserta menjadi dua kelompok, untuk menyusun rekomendasi bagi lembaga pendidikan jurnalisme maupun kepada penerbit pers. ***
 

Rekomendasi Kelompok Jalur Akademisi:
1. Mengulang atau menyampaikan kembali surat dari pengurus SPS Pusat kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, yang ditembuskan kepada rektor-rektor yang memiliki jurusan jurnalistik serta asosiasi pendidikan, untuk berdialog mengenai kurikulum pendidikan jurnalisme.
2. Menyampaikan kepada Komisi I dan Komisi X DPR yang antara lain membidangi masalah pers, tentang perlunya perhatian terhadap School of Journalism.
3. Status atau level pendidikan jurnalistik ditingkatkan menjadi fakultas di Perguruan Tinggi.
4. Tolok ukur yang digunakan untuk akreditasi Perguruan Tinggi tidak menjadi hambatan untuk pengembangan kurikulum jurnalistik.
5. Mendesak kepada seluruh Perguruan Tinggi yang memiliki jurusan jurnalistik untuk membenahi dan menata ulang SDM dan rasio pengajar berbanding mahasiswa serta fasilitas lainnya.
6. Menganjurkan lembaga pendidikan Non Jurnalistik yang mempunyai mata kuliah jurnalistik agar merujuk pada kurikulum model UNESCO.
7. Lembaga-lembaga Pendidikan Jurnalistik Non Perguruan Tinggi agar mendayagunakan kurikulum dan membenahi tenaga kerjanya.
8. Lembaga-lembaga pendidikan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan jurusan/prodi jurnalistik diingatkan untuk menjaga kualitas proses pendidikan dan mutu lulusannya.

Anggota Kelompok:
1. Rahmi Rizal (Majalah UMMI).
2. Paulus Sulasdi (Harian WARTA KOTA).
3. Audrin (Tabloid PULSA).
4. FA. Santoso (Harian KOMPAS).
5. Avsal (Harian SUARA PEMBARUAN).
6. Maskun Iskandar (Lembaga Pers Dr Sutomo).
7. M. Ihsan (Majalah WARTA EKONOMI).
8. Willy Pramudya (Aliansi Jurnalis Independen)
9. Mahya Ramdhani (Harian PELITA).

Rekomendasi Kelompok Jalur Praktisi:
A. Untuk the next journalist:
1. Roh jurnalisme harus ditegakkan melalui sebuah kurikulum yang tegas mendudukkan posisi profesionalisme wartawan. Bahwa wartawan profesional itu bekerja untuk kepentingan masyarakat/rakyat yang terpinggirkan.
2. Menegakkan aturan yang tegas dan mampu mencegah pemilik media mengarahkan wartawan sepenuhnya untuk kepentingannnya atau kelompoknya.
3. Perlu ada visi dan misi yang ideal dan jelas dari pendidikan dan profesi jurnalisme. Bahwa media berperan sebagai alat sepenuhnya untuk kepentingan publik
4. Perlu standar pendidikan jurnalisme yang jelas dan baku.
5. Perlu penegakan etika profesi dan revitalisasi kode etik jurnalistik agar sesuai dengan perkembangan zaman.
6. Wartawan wajib memiliki kompetensi seperti tercantum dalam panduan kurikulum Unesco.
7. Memfokuskan kurikulum pendidikan jurnalisme dengan tetap berbasis kompetensi.
8. Perlu penajaman kategori dan karakteristik jurnalistik cetak, televisi, radio, dan online.
9. Membangun karakter jurnalis yang berpikir kritis dan logis.

B. Untuk the existing journalist:
1. Terus mengupayakan lewat berbagai cara (pelatihan atau diklat)untuk meningkatkan profesionalisme wartawan.
2. Perlu penguatan peran atau kinerja dari institusi pengawas media, organisasi wartawan, dan organiasi perusahaan pers untuk mengarahkan wartawan menjadi pekerja profesional.
3. Mendorong semua media untuk meratifikasi regulasi perusahaan media yang sehat di bawah pengawasan Dewan Pers.
4. Perusahaan/penerbit pers agar lebih memperhatikan jenjang karier dan kualitas kesejahteraan wartawan.

Jakarta, 20 Oktober 2009
Kelompook II

1. Marah Sakti Siregar (Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat).
2. A Hamid Dipopramono (Harian JURNAL NASIONAL).
3. Hari G (Harian INVESTOR DAILY).
4. Endang Werdiningsih (Majalah KARTINI).
5. Melly Trirahmi (Majalah KARTINI).
6. Siti Afifiyah (Tabloid WANITA INDONESIA).
7. Yohannes Widada (Harian MEDIA INDONESIA).
8. Muhammad Yulius (ANNIDA Online).