Media Pembaharuan Jakarta,- Di masa kejayaan VOC, banyak
pemberontak pribumi yang berbelok menjadi abdi kompeni. Salah satunya
putra Maluku bernama Jongker, penguasa Marunda.
GEDUNG munggil bertembok kusam itu terpuruk di sudut Pelabuhan Alfa
Pejongkeran, Marunda. Catnya yang bercorak merah putih sebagian mulai
terkelupas dimakan waktu. Tepat di bagian atas pintu besinya bertengger
sebuah lafaz Arab berbunyi:bismillahirohmanirrohim. Sekilas
orang akan menduga gedung itu tak lebih gudang tua semata. Terlebih
dengan rimbunan pohon kersen dan semak belukar di sekelilingnya, kesan
itu seolah semakin kuat.
Saya mengarahkan lensa kamera ke bagian dalam gedung tua yang
tergembok itu, lantas mengatur ketepatan jaraknya.Klik…Klik..Klik.
Lewat lubang kunci yang berdiameter sekitar 4X3 cm, jadilah saya
mengambil gambar pemandangan yang ada di dalam ruangan gedung tersebut:
sebuah makam tua bermarmer putih kusam dengan tiga tangkai sedap malam
layu di atas nisannya. Lalu makam siapakah itu gerangan?
“Kata orang-orang tua dulu sih, itu makam Panggeran Jafar alias
Kapiten Jongker,”ujar Inan (43), seorang tukang ojek yang sehari-hari
mangkal di sana.
Keterangan Inan memang tidak salah. Di bawah makam tua itu, memang
dikebumikan seorang lelaki bernama Kapitan Jongker (atau Jonker). Itu
nama seorang putra Maluku yang menjadi jagoan kompeni dan penguasa
Marunda sekitar 400 tahun yang lalu. Bahkan begitu berkuasanya Jongker
hingga, ”Namanya diambil untuk menyebutkawasan ini yakni
Pejongkeran,”katawarga asli Marunda tersebut.
Dalam catatan sejarah versi Belanda, nama Jongker memang ada
disebutkan. Menurut salah satu ahli sejarah Hindia Belanda terkemuka
yakni F.De Haan, nama itu memang tertulis dalam sebuah akte VOC bertahun
1664 sebagai Joncker Jouwa de Manipa. “Nama Manipa bisa jadi mengacu
kepada tempat dia berasal yakni Pulau Manipa di Seram Barat,Maluku,”
tulis De Haan dalam Oud Batavia
Awalnya Musuh VOC
Sekilas nama Jongker sangat berbau Belanda dan identik dengan nama
Kristen. Namun banyak sejarawan percaya bahwa sesungguhnya Jongker
adalah seorang Muslim. Salah seorang sejarawan Belanda yang mengimani
soal itu adalah J.A. Vander Chijs. “Dari lahir sampai meninggal,
Jongker adalah seorang pengikut Muhammad,”tulisnya dalam Kapitein Jonker.
Jonker memang putra Maluku tulen. Dia lahir di Pulau Manipa pada 1620
dalam nama Achmad Sangadji Kawasa. Nama terakhir mengacu kepada nama
sang ayah yakni Kawasa,seorang Sangadji (jabatan setingkat Bupati) yang
diangkat langsung oleh Sultan Ternate bernama Hamzah. Saat pengangkatan
tersebut usia Jonker baru 18 tahun.
Sangadji muda begitu terkesan dengan kewibawaan sang ayah. Ia
memiliki cita-cita untuk bisa sekuat dan sewibawa ayahnya. Karena itu,
ketika sang ayah menyatakan Mapia ikut berperang melawan VOC dalam
Perang Hoamoal(1651-1656), dengan semangat mengebu, Achmad Sangadji
melibatkan diri. Salahsatunya dengan melakukan pelayaran ke Makassar
guna mencari bantuan amunisi dan dukungan politik.
Sayang, kekuatan Manipa tidak seimbang dengan VOC. Alih-alih bisa
menghancurkan orang-orang Belanda, benteng Manipa malah hancur dan para
pemimpinnya ditawan oleh VOC.Termasuk Achmad Sangadji dan seluruh
keluarganya. Sejak itulah, ia yang sebelumnya dikenal musuh VOC berbalik
mendukung perusahaan dagang multinasional pertama di dunia itu. Bahkan
bukan hanya secara politik, Achmad Sangadji juga melibatkan diri dalam
kemiliteran VOC.
Belum ada keterangan sejarah yang menyebutkan musabab Achmad Sangadji
menjadi pengikut VOC. Apakah itu merupakan sebuah bentuk kompromi
politik? Sepertinya para ahli sejarah harus lebih dalam meneliti soal
ini. Namun yang jelas, H.J De Graaf menyatakan sejak bergabung dengan
militer VOC, Sangadji ditempatkan oleh Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn
(Gubernur VOC untuk Maluku) menjadi anggota kompi Kapitain Tahialele,
putra dari Raja Luhu yang juga ikut menyerah kepada VOC.
“Kompi orang-orang Ambon ini ditempatkandi Batavia,”tulis De Graaf dalam De geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken.
Selanjutnya serdadu-serdadu asal Maluku banyak dilibatkan
dalam berbagai operasi militer VOC di berbagai tempat, mulai dari Kupang
hingga ke kawasan India Selatan. Pada 9 Agustus 1657, Kompi Tahialele
yang berkekuatan 80 prajurit ikut bergabung dengan pasukan besar VOC
pimpinan Rijklof van Goens. Mereka bergerak menuju India dan Srilanka
guna berperang menghadapi serdadu-serdadu Portugis.
Setahun mereka bertempur melawan orang-orang Portugis hingga pada 24
Juni 1658, VOC berhasil merebut Jafnapatnam, Diu dan Goa. Namun
kemenangan itu harus dibayar mahal dengan gugurnya beberapa prajurit
terbaik VOC termasuk Kapitain Tahialele. Untuk menggantikan posisi
Tahialele, maka pada 1659 VOC mengangkat Achmad Sangadji sebagai
komandan kompi dengan pangkat Kapiten.
Terlibat Berbagai Operasi Militer
Sejak memimpin Kompi Ambon, karier militer Achmad Sangadji melesat
bak anak panah. Bersama pasukan Maluku-nya, Achmad Sangadji menjadi
andalan VOC dalam menaklukan beberapa daerah di Nusantara. Salah satu
daerah yang menjadi “pengatrol” karier militer Achmad Sangadji adalah
Sumatera Barat, tanah air orang-orang Minangkabau.
Tersebutlah VOC yang pada April 1666 dipermalukan oleh orang-orang
Minangkabau. Saat berupaya memadamkan pemberontakan rakyat Pauh,
alih-alih mendapat kemenangan, 200 serdadu kompeni lintang pukang. Dari
200 serdadu yang dikirim, hanya 70 serdadu yang kembali hidup-hidup.
Pimpinan pasukan VOC yang bernama Jacob Gruys termasuk korban yang tewas
selain 2 Kapiten dan 5 Letnan.
VOC bertekad membalas kekalahan memalukan itu. Pada Agustus1666,
Gubernur Jenderal Joan Maetsuyckerdi Batavia memerintahkan Angkatan
Perang VOC untuk mengirim lagi 300 serdadunya ke Pauh: terdiri dari
130 serdadu Bugis pimpinan Aru Palaka (RajaBone) dan 100 serdadu Ambon
dibawah Kapiten Sangadji. Sisanya terdiri dari serdadu Belanda totok
yang langsung dipimpin oleh komandan gabungan bernama Abraham Verspreet.
Para serdadu Belanda totok tersebut mendapat prioritas pengamanan.Itu
dibuktikan dengan adanya perintah langsung Gubernur Jenderal kepada
Verspreet untuk mengatur setiap pertempuran dalam formasi: Pasukan Bugis
dan Pasukan Ambon harus selalu berada di depan Pasukan Belanda. Itu
jelas bertujuan menjadikan para serdadu bumiputera sebagai perisai hidup
bagi para serdadu Belanda totok.
Peperangan yang kedua antara serdadu VOC dengan rakyat Minangkabau
itu pun berlangsung cukup seru. Rusli Amran melukiskan saat berlangsung
pertempuran , korban berjatuhan dari kedua belah pihak. VOC sendiri
kehilangan 10 orang serdadu dan 20 lainnya luka-luka termasuk Kapiten
Aru Palaka dan Kapten Achmad Sangadji, yang terkena 3 buah tusukan
tombak.
“ Dalam setiap pertempuran, para serdadu bumiputera ini sering kali
terpisah dengan pasukan induk. Itu disebabkan mereka begitu sibuk
sendiri melakukan pembantaian dan pemenggalan kepala…” tulis Rusli Amran
dalam Sumatera Barat hingga Plakat Panjang.
Akhir pertempuran, Ulakan dapat diduduki pada 28 September1666.
Dengan kemenangan itu, VOC mengganjar Aru Palaka menjadi Raja Ulakan
versi kompeni. Dua hari kemudian serdadu VOC berhasil menguasai
Pariaman. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa Pasukan Ambon, Verspreet
mengangkat Achmad Sangadji sebagai Panglima Kompeni Wilayah Pariaman (
orang lokal menyebutnya sebagai Raja Ambon) dan berhak mendapat upeti
dari masyarakat setempat.
Awal November, pasukan gabungan VOC itu pulang ke Batavia. Gubernur
Jenderal Joan Maetsuycker memberikan banyak hadiah kepada mereka. Aru
Palaka dan Achmad Sangadji sendiri mendapat pakaian dan emas serta
masing-masing mendapat 20 ringgit untuk setiap tawanan yang dibawa dari
Minangkabau.
Kesayangan Gubernur Jenderal Speelman
Kesuksesan Kapiten Sangadji di Sumatera Barat, membuat namanya
populer di kalangan militer dan pejabat teras VOC. Sebagai bentuk
penghormatan,pada 1 Januari 1665, VOC mengangkat Sangadji sebagai kepala
orang-orang Ambon di Batavia. Sejak itulah pamor Si Kapiten Maluku
mulai mencorong.I tu menyebabkan ia kebanjiran “order” dari
GubernurJenderal VOC untuk menumpas bebeberapa pergolakan rakyat di
belahan Nusantara seperti di Jambi, Palembang, Jawa Timur dan Banten.
Dari situlah, karier militernya berjalan makin bagus. Salah satu
prestasi militer yang menjadikan bintang Sangadji makin kinclong di
hadapan VOC adalah saat ia berhasil memadamkan sekaligus menangkap
Trunojoyo, seorang Madura yang melakukan pemberontakan besar terhadap
kekuasaan Sultan Amangkurat II yang didukung oleh VOC.
Atas berbagai “prestasi” itu, adalah wajar jika kemudian Sangadji
tampil sebagai serdadu kesayangan Gubernur Jenderal Cornelis Janszoon
Speelman. Begitu sayangnya Speelman kepada putra Malukut ersebut, hingga
ia menganugerahkan medali berbentuk rantai kalung emas(seharga 300
ringgit) dan menganugerahkan sebidang tanah di kawasan Pantai
Marunda.Posisi inilah yang konon menjadikannya dipanggil sebagai Jonker
yangartinya raja muda.
Namun tentu saja tidak berarti kejayaan Kapiten Jonker berjalan
mulus. Demi menyaksikan kesuksesan Jonker, diam-diam ada perasaan dengki
di kalangan serdadu Belanda totok. Menurut mereka, sehebat apapun
Jonker, ia tetap seorang inlander (bumiputera) yang tak berhak memiliki jabatan tinggi. Sebuah sikap sok superior khas orang-orang kulit putih
Menurut sejarawan Van der Chijs, memang ada satu kelompok serdadu VOC
yang tak senang dengan situasi tersebut. Mereka memendam perasaan iri
dan dengki yang berkarat kepada Jonker. Klik tentara VOC itu dipimpin
oleh seorang perwira sekaligus anggota Dewan Hindia. Namanya Isaac de
Saint Martin.
Isaac adalah tipikal tentara politis yang memiliki kepandaian
berstrategi. Ketika Jonker ada di puncak kesuksesannya, ia tidak
memperlihatkan sikap dengkinya itu. Namun pasca meninggal Speelman pada
1884, mulailah ia dan kelompok intelejennya menyebar gossip: Jonker
sedang mempersiapkan sebuah pemberontakan terhadap kekuasaan VOC di
Batavia. Ia disebutkan ingin membunuh semua orang-orang Belanda di
Batavia karena mereka beragama Kristen. “ Itu jelas sebuah tuduhan yang
sangat serius di Batavia saat itu, karena akan berakibat hukuman
mati,”tulis Van der Chijs.
Akhir Tragis Penguasa Marunda
Jonker bukan tidak mengetahui soal gosip miring tentang dirinya. Dari
tempat tinggalnya di Marunda, ia dan kelompoknya berusaha sekuat tenaga
menyangkal semua yang dituduhkan kepada mereka. Dan memang secara
logis, adalah konyol jika Jonker ingin melakukan pemberontakan,
mengingat begitu kuatnya kedudukan Pemerintah Pusat di Batavia saat itu.
Namun pengaruh Issac de Saint Martin terlalu kuat di Batavia. Selain
munculnya sentiment rasis di kalangan orang-orang Belanda, bisa jadi itu
juga disebabkan oleh kekurangtahuan akan situasi politik dari Gubernur
Jenderal Johannes Camphuys yang baru saja menggantikan Gubernur Jenderal
Speelman yang mati mendadak. Akibatnya mau tidak mau, Jonkerpun harus
menjadi korban intrik politik para perwira Belanda.
Tahun 1688, Pemerintah Pusat di Batavia mulai mengawasi dan
menyempitkan gerakan Jonker. Beberapa fasilitas yang didapatnya dari
Speelman mulai dilucuti. Di lain pihak provokasi terus dilakukan oleh
Issac de Saint Martin dan kliknya di tubuh Angkatan Perang VOC. Setahun
kemudian, mungkin karena tidak kuat lagi dengan berbagai tekanan, intrik
dan pengawasan , Jonker dan kelompoknya terprovokasi untuk menyerang
Batavia.
Penyerangan itu memang gagal, karena saya pikir Jonker melakukannya
setengah hati. Tidak disebutkan jumlah korban yang jatuh dalam
penyerangan itu. Namun yang jelas, saat itu Pemerintah Pusat Batavia
sendiri seolah-olah“memaafkan” ulah Jonker tersebut. Rupanya itu hanya
“tipu-tipu gaya Holland” semata. Setelah berhasil mendinginkan Jonker
dan pasukannya, beberapa harikemudian Angkatan Perang VOC justru
mengirimkan ratusan pasukannya lewat darat dan laut. Marunda dikepung
dari tiga penjuru.
Malangnya, Kapiten Jonker tidak menyadari kelicikan orang-orang
Belanda itu. Alih-alih bersiap siaga, konon sambil tertawa-tawa ia
malahmenyambut kedatangan Kapiten Wan Abdul Bagus dan kawan-kawannya
tersebut. Kapiten Wan Abdul Bagus atau Cik Awan adalah komandan Pasukan
Melayu VOC, yang bermarkas di suatu tempat yang sekarang bernama Cawang,
Jakarta Timur. Menurut Alwi Shahab dalam Robin Hood dari Betawi, nama Cawang sendiri diambil dari namanya yang sering dipanggil dengan istilah Melayu: Cik Wan.
Saat bersendagurau itulah, tiba-tiba sebutir peluru dari penembak
runduk (sniper) VOC menghantam tubuh Jonker. Si Kapiten Maluku itu pun
tewas seketika. Seiring dengan terbunuhnya Jonker, ratusan pasukan VOC
secara kilat menyerbu posisi Pasukan Ambon yang sama sekali tidak sedang
siap siaga. Akibatnya 130 prajurit Ambon terbantai dan mayatnya
bergelimpangan di tepi Pantai Marunda.
Mayat Kapiten Jonker sendiri dievakuasi ke Batavia. Kepala jagoan
Pasukan Maluku itu dipenggal dan sempat dipamerkan di kawasan Kota
(Nieupoort). Setelah puas, barulah jasadnya dibawa kembali ke Marunda
dan dimakamkan tepat di sebuah tepi Pantai Marunda, bekas tempat
tinggalnya.
Gedung munggil bertembok kusam itu terpuruk di sudut Pelabuhan Alfa
Pejongkeran, Marunda. Catnya yang bercorak merah putih sebagian mulai
terkelupas dimakan waktu. Inilah saksi bisu dari pengkhianatan VOC
kepada abdinya yang paling setia dan berjasa.(hendijo)