Jumat, 17 April 2015

Matinya Kapitan Marunda

Media Pembaharuan Jakarta,- Di masa kejayaan VOC, banyak  pemberontak pribumi yang berbelok menjadi abdi kompeni. Salah satunya putra Maluku bernama Jongker, penguasa Marunda.
GEDUNG munggil bertembok kusam itu terpuruk di sudut Pelabuhan Alfa Pejongkeran, Marunda. Catnya yang bercorak  merah putih sebagian mulai terkelupas dimakan waktu. Tepat di bagian atas pintu besinya bertengger sebuah lafaz Arab berbunyi:bismillahirohmanirrohim. Sekilas orang akan menduga gedung itu tak lebih gudang tua semata. Terlebih dengan rimbunan pohon kersen dan semak belukar di sekelilingnya, kesan itu seolah semakin kuat.
Matinya Kapitan MarundaSaya mengarahkan lensa kamera ke bagian dalam gedung tua yang tergembok itu, lantas mengatur ketepatan jaraknya.Klik…Klik..Klik. Lewat  lubang kunci yang berdiameter sekitar 4X3 cm, jadilah saya mengambil gambar pemandangan yang ada di dalam ruangan gedung tersebut: sebuah makam tua bermarmer putih kusam dengan tiga tangkai sedap malam layu di atas nisannya. Lalu makam siapakah itu gerangan?
“Kata orang-orang tua dulu sih, itu makam Panggeran Jafar alias Kapiten Jongker,”ujar Inan (43), seorang tukang ojek yang sehari-hari mangkal di sana.
Keterangan Inan memang tidak salah. Di bawah makam tua itu, memang dikebumikan seorang lelaki bernama Kapitan Jongker (atau Jonker). Itu nama seorang putra Maluku yang menjadi jagoan kompeni  dan penguasa Marunda sekitar 400 tahun yang lalu. Bahkan begitu berkuasanya Jongker hingga, ”Namanya diambil untuk menyebutkawasan ini yakni Pejongkeran,”katawarga asli Marunda tersebut.
Dalam catatan sejarah versi Belanda, nama Jongker  memang ada disebutkan. Menurut salah satu ahli sejarah Hindia Belanda terkemuka yakni F.De Haan, nama itu memang tertulis dalam sebuah akte VOC bertahun 1664  sebagai Joncker Jouwa de Manipa. “Nama Manipa bisa jadi mengacu kepada tempat dia berasal yakni Pulau Manipa di Seram Barat,Maluku,” tulis De Haan dalam   Oud Batavia 
Awalnya Musuh VOC
Sekilas nama Jongker sangat berbau Belanda dan identik dengan nama Kristen. Namun banyak sejarawan percaya bahwa sesungguhnya Jongker adalah seorang Muslim. Salah seorang sejarawan Belanda yang mengimani soal itu adalah  J.A. Vander Chijs. “Dari lahir sampai meninggal, Jongker adalah seorang pengikut Muhammad,”tulisnya dalam Kapitein Jonker.
Jonker memang putra Maluku tulen. Dia lahir di Pulau Manipa pada 1620 dalam nama Achmad Sangadji Kawasa. Nama terakhir mengacu kepada nama sang ayah yakni Kawasa,seorang Sangadji (jabatan setingkat Bupati) yang diangkat langsung oleh Sultan Ternate bernama Hamzah. Saat pengangkatan tersebut usia Jonker baru 18 tahun.
Sangadji muda begitu terkesan dengan kewibawaan sang ayah. Ia memiliki cita-cita untuk  bisa sekuat dan sewibawa ayahnya. Karena itu, ketika sang ayah menyatakan Mapia ikut berperang melawan VOC dalam Perang Hoamoal(1651-1656), dengan semangat mengebu, Achmad Sangadji melibatkan diri. Salahsatunya dengan melakukan pelayaran ke Makassar guna mencari bantuan amunisi dan dukungan politik.
Sayang, kekuatan Manipa tidak seimbang dengan VOC. Alih-alih bisa menghancurkan orang-orang Belanda, benteng Manipa malah hancur dan para pemimpinnya ditawan oleh VOC.Termasuk Achmad Sangadji dan seluruh keluarganya. Sejak itulah, ia yang sebelumnya dikenal musuh VOC berbalik mendukung  perusahaan dagang multinasional pertama di dunia itu. Bahkan bukan hanya secara politik, Achmad Sangadji juga melibatkan diri dalam kemiliteran VOC.
Belum ada keterangan sejarah yang menyebutkan musabab Achmad Sangadji menjadi pengikut VOC. Apakah itu merupakan sebuah bentuk kompromi politik? Sepertinya para ahli sejarah harus lebih dalam meneliti soal ini. Namun yang jelas, H.J De Graaf menyatakan sejak bergabung dengan militer VOC, Sangadji ditempatkan oleh Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn (Gubernur VOC untuk Maluku) menjadi anggota kompi Kapitain Tahialele, putra dari Raja Luhu yang juga ikut menyerah kepada VOC.
“Kompi orang-orang Ambon ini ditempatkandi Batavia,”tulis De Graaf dalam De geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken.
 Selanjutnya serdadu-serdadu  asal Maluku banyak dilibatkan dalam berbagai operasi militer VOC di berbagai tempat, mulai dari Kupang hingga ke kawasan India Selatan. Pada 9 Agustus 1657, Kompi Tahialele  yang berkekuatan 80 prajurit ikut bergabung dengan pasukan besar VOC pimpinan Rijklof van Goens. Mereka  bergerak menuju India dan Srilanka guna berperang menghadapi serdadu-serdadu Portugis.
Setahun mereka bertempur melawan orang-orang Portugis hingga pada 24 Juni 1658, VOC berhasil merebut Jafnapatnam, Diu dan Goa. Namun kemenangan itu harus dibayar mahal dengan gugurnya beberapa prajurit terbaik VOC termasuk Kapitain Tahialele. Untuk menggantikan posisi Tahialele, maka pada 1659 VOC mengangkat Achmad Sangadji sebagai komandan kompi dengan pangkat Kapiten.

Terlibat Berbagai Operasi Militer
Sejak memimpin Kompi Ambon, karier militer Achmad Sangadji melesat bak anak panah. Bersama pasukan Maluku-nya, Achmad Sangadji menjadi andalan VOC dalam menaklukan beberapa daerah di Nusantara. Salah satu daerah yang menjadi “pengatrol” karier militer Achmad Sangadji adalah Sumatera Barat, tanah air orang-orang Minangkabau.
Tersebutlah VOC yang pada April 1666 dipermalukan oleh orang-orang Minangkabau. Saat berupaya memadamkan pemberontakan rakyat Pauh, alih-alih mendapat kemenangan, 200 serdadu kompeni lintang pukang. Dari 200 serdadu yang dikirim, hanya 70 serdadu yang kembali hidup-hidup. Pimpinan pasukan VOC yang bernama Jacob Gruys termasuk korban yang tewas selain 2 Kapiten dan 5 Letnan.
VOC bertekad membalas kekalahan memalukan itu. Pada Agustus1666,  Gubernur Jenderal Joan Maetsuyckerdi Batavia memerintahkan Angkatan Perang VOC untuk  mengirim lagi 300 serdadunya ke Pauh: terdiri dari  130 serdadu Bugis pimpinan Aru Palaka (RajaBone) dan 100 serdadu Ambon dibawah Kapiten Sangadji. Sisanya terdiri dari serdadu Belanda totok yang langsung dipimpin oleh komandan gabungan bernama Abraham Verspreet.
Para serdadu Belanda totok tersebut mendapat prioritas pengamanan.Itu dibuktikan dengan adanya perintah langsung Gubernur Jenderal kepada Verspreet untuk mengatur setiap pertempuran dalam formasi: Pasukan Bugis dan Pasukan Ambon harus selalu berada di depan Pasukan Belanda. Itu jelas bertujuan menjadikan para serdadu bumiputera sebagai perisai hidup bagi para serdadu Belanda totok.
Peperangan yang kedua antara serdadu VOC dengan rakyat Minangkabau itu pun berlangsung cukup seru. Rusli Amran melukiskan saat berlangsung pertempuran , korban berjatuhan dari kedua belah pihak. VOC sendiri kehilangan 10 orang serdadu  dan  20 lainnya luka-luka termasuk Kapiten Aru Palaka dan Kapten Achmad Sangadji, yang terkena 3 buah tusukan tombak.
“ Dalam setiap pertempuran, para serdadu bumiputera  ini sering kali terpisah dengan pasukan induk. Itu disebabkan mereka begitu sibuk sendiri melakukan pembantaian dan pemenggalan kepala…” tulis Rusli Amran dalam Sumatera Barat hingga Plakat Panjang.
Akhir pertempuran, Ulakan dapat diduduki pada 28 September1666. Dengan kemenangan itu, VOC mengganjar Aru Palaka menjadi Raja Ulakan versi kompeni. Dua hari kemudian serdadu VOC berhasil menguasai Pariaman. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa Pasukan Ambon, Verspreet mengangkat Achmad Sangadji sebagai Panglima Kompeni Wilayah Pariaman ( orang lokal menyebutnya sebagai Raja Ambon) dan  berhak mendapat upeti dari masyarakat setempat.
Awal  November, pasukan gabungan VOC itu  pulang ke Batavia. Gubernur Jenderal  Joan Maetsuycker  memberikan banyak hadiah kepada mereka. Aru Palaka dan  Achmad Sangadji sendiri mendapat pakaian dan emas serta masing-masing mendapat 20 ringgit untuk setiap tawanan yang dibawa dari Minangkabau.

Kesayangan Gubernur Jenderal Speelman
Kesuksesan Kapiten Sangadji di Sumatera Barat, membuat namanya populer di kalangan militer dan pejabat teras VOC. Sebagai bentuk penghormatan,pada 1 Januari 1665, VOC mengangkat Sangadji sebagai kepala orang-orang Ambon di Batavia. Sejak itulah pamor Si Kapiten Maluku mulai mencorong.I tu menyebabkan ia kebanjiran “order”  dari GubernurJenderal VOC untuk menumpas bebeberapa pergolakan rakyat di belahan Nusantara seperti di Jambi, Palembang, Jawa Timur dan Banten.
Dari situlah, karier militernya berjalan makin bagus. Salah satu prestasi militer yang menjadikan bintang Sangadji makin kinclong di hadapan VOC adalah saat ia berhasil memadamkan sekaligus menangkap Trunojoyo, seorang Madura yang melakukan pemberontakan besar terhadap kekuasaan Sultan Amangkurat II yang didukung oleh VOC.
Atas berbagai “prestasi” itu, adalah wajar jika kemudian Sangadji tampil sebagai serdadu kesayangan Gubernur Jenderal Cornelis Janszoon Speelman. Begitu sayangnya Speelman kepada putra Malukut ersebut, hingga ia menganugerahkan medali berbentuk rantai kalung emas(seharga 300 ringgit) dan menganugerahkan sebidang tanah di kawasan Pantai Marunda.Posisi inilah yang konon menjadikannya dipanggil sebagai Jonker yangartinya raja muda.
Namun tentu saja tidak berarti kejayaan Kapiten Jonker berjalan mulus. Demi menyaksikan kesuksesan Jonker, diam-diam ada perasaan dengki di kalangan serdadu Belanda totok. Menurut mereka, sehebat apapun Jonker, ia tetap seorang inlander (bumiputera) yang tak berhak memiliki jabatan tinggi. Sebuah sikap sok superior khas orang-orang kulit putih
Menurut sejarawan Van der Chijs, memang ada satu kelompok serdadu VOC yang  tak senang dengan situasi tersebut. Mereka memendam perasaan iri  dan dengki yang berkarat kepada Jonker. Klik tentara VOC itu dipimpin oleh seorang perwira sekaligus anggota Dewan Hindia. Namanya Isaac de Saint Martin.
Isaac adalah tipikal tentara politis yang memiliki kepandaian berstrategi. Ketika Jonker ada di puncak kesuksesannya, ia tidak memperlihatkan sikap dengkinya itu. Namun pasca meninggal Speelman pada 1884, mulailah ia dan kelompok intelejennya menyebar gossip: Jonker sedang mempersiapkan sebuah pemberontakan terhadap kekuasaan VOC di Batavia. Ia disebutkan  ingin membunuh semua orang-orang Belanda di Batavia karena mereka beragama Kristen. “ Itu jelas sebuah tuduhan yang sangat serius  di Batavia saat itu, karena akan berakibat hukuman mati,”tulis Van der Chijs.

Akhir Tragis Penguasa Marunda
Jonker bukan tidak mengetahui soal gosip miring tentang dirinya. Dari tempat tinggalnya di Marunda, ia dan kelompoknya berusaha sekuat tenaga menyangkal semua yang dituduhkan kepada mereka. Dan memang secara logis, adalah konyol jika Jonker ingin melakukan pemberontakan, mengingat begitu kuatnya kedudukan Pemerintah Pusat di Batavia saat itu.
Namun pengaruh Issac de Saint Martin terlalu kuat di Batavia. Selain munculnya sentiment rasis di kalangan orang-orang Belanda, bisa jadi itu juga disebabkan oleh kekurangtahuan akan situasi politik dari Gubernur Jenderal Johannes Camphuys yang baru saja menggantikan Gubernur Jenderal Speelman yang mati mendadak. Akibatnya  mau tidak mau, Jonkerpun harus menjadi korban intrik politik para perwira Belanda.
Tahun 1688, Pemerintah Pusat di Batavia mulai mengawasi dan menyempitkan gerakan Jonker. Beberapa fasilitas yang didapatnya dari Speelman mulai dilucuti. Di lain pihak provokasi terus dilakukan oleh Issac de Saint Martin dan kliknya di tubuh Angkatan Perang VOC. Setahun kemudian, mungkin karena tidak kuat lagi dengan berbagai tekanan, intrik dan pengawasan , Jonker dan kelompoknya terprovokasi untuk menyerang Batavia.
Penyerangan itu memang gagal, karena saya pikir Jonker melakukannya setengah hati. Tidak disebutkan jumlah korban yang jatuh dalam penyerangan itu. Namun yang jelas, saat itu Pemerintah Pusat Batavia sendiri seolah-olah“memaafkan” ulah Jonker tersebut. Rupanya itu hanya “tipu-tipu gaya Holland” semata. Setelah berhasil mendinginkan Jonker dan pasukannya, beberapa harikemudian Angkatan Perang VOC justru mengirimkan ratusan pasukannya lewat darat dan laut. Marunda dikepung dari tiga penjuru.
Malangnya, Kapiten Jonker tidak menyadari kelicikan orang-orang Belanda itu. Alih-alih bersiap siaga, konon sambil tertawa-tawa ia malahmenyambut kedatangan Kapiten Wan Abdul Bagus dan kawan-kawannya tersebut. Kapiten Wan Abdul Bagus atau Cik Awan adalah komandan Pasukan Melayu VOC, yang bermarkas di suatu tempat yang sekarang bernama Cawang, Jakarta Timur. Menurut Alwi Shahab dalam Robin Hood dari Betawi, nama Cawang sendiri diambil dari  namanya yang sering dipanggil dengan istilah Melayu: Cik Wan.
Saat bersendagurau itulah, tiba-tiba sebutir peluru dari penembak runduk (sniper) VOC menghantam tubuh Jonker. Si Kapiten Maluku itu pun tewas seketika. Seiring dengan terbunuhnya Jonker, ratusan pasukan VOC secara kilat menyerbu posisi Pasukan Ambon yang sama sekali tidak sedang siap siaga. Akibatnya 130 prajurit Ambon terbantai dan mayatnya bergelimpangan di tepi Pantai Marunda.
Mayat Kapiten Jonker sendiri dievakuasi ke Batavia. Kepala jagoan Pasukan Maluku itu dipenggal dan sempat dipamerkan di kawasan Kota (Nieupoort). Setelah puas, barulah jasadnya dibawa kembali ke Marunda dan dimakamkan tepat di sebuah tepi Pantai Marunda, bekas tempat tinggalnya.
Gedung munggil bertembok kusam itu terpuruk di sudut Pelabuhan Alfa Pejongkeran, Marunda. Catnya yang bercorak merah putih sebagian mulai terkelupas dimakan waktu. Inilah saksi bisu dari pengkhianatan VOC kepada abdinya yang paling setia dan berjasa.(hendijo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar