Minggu, 11 Januari 2015

Dalam menegakkan hukum idealnya penyidik tidak bisa diintervensi.


PENYIDIK BERPANGKAT

Oleh: KBP Dr. Chryshnanda Dwilaksana*)

Dalam menegakkan hukum idealnya penyidik tidak bisa diintervensi. Namun pada kenyataanya banyak kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi bahkan mengintervensi proses penyidikan.

Ungkapan salah seorang penyidik yang kesal atas intervensi pada proses penyidikan mengatakan: "kita ini penyidik yang tidak bisa diintervensi, tapi kita ini berpangkat". Makna dari ungkapan tadi dapat dipahmi bahwa walaupun penyidik itu independen, namun ia tetap harus patuh + taat serta loyal kepada atasan/pimpinan yang pangkatnya lebih tinggi. Ini mencerminkan birokrasi yang patrimonial.

Pemimpin tertinggi menjadi pusat kekuasaan dan semua diputuskan oleh kebijakanya sendiri, rasionalisasi atas keputusan/kebijakan yang diambil biasanya lebih pada kebiasaan + akal sehat saja. tak jarang mengabaikan fakta-fakta kebenaran dan azas-azas penyidikan + penegakkan hukum.

Birokrasi yang patrimonial, para pemimpinya cenderung menjadi otoriter dan menggunakan kekuasaanya/kewenanganya atas dan demi kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Kebijakan-kebijakan yang diambil menjadi peluang terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Walaupun menyimpang namun diikuti juga oleh anak buahnya dan dijadikan acuan di antara mereka dengan membuat kesepakatan-kesepakatan sebagai bentuk penjabaran kebijakan pimpinan tersebut.

Ini yang dikenal sebagai diskresi birokrasi yang cenderung menjadi korupsi. Dikarenakan adanya peluang-peluang/potensi-potensi terjadinya penyimpangan. Kebijakan-kebjikan yang subyektif dan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu akan menjadi contoh atau dianggap sebagai pembenaran atas penyimpangan.
Menyimpangnya penyidikan dr azas-azas penegakan hukum menjadikan potensi-potensi penyimpangan yang lebih besar dan bertingkat tingkat serta bervariasi. Bisa menjadi grass eater (sekadar untuk hidup) atau pun meat eater (menumpuk kekayaan). Dampak penyidikan yang diintervensi /yang tidak taat azas menjadikan tumbuh dan berkembangnya sikap permisive atas penyimpangan-penyimpangan.

Walau penyidik berpangkat tetap harus profesional cara kerjanya dan memiliki standardisasi keberhasilan tugasnya. Akuntabilitasnya mencakup secara moral hukum, dan secara administrasi. Membangun sistem dan menerapkan standar-standar penyidikan menjadi bagian penting dalam membangun kemandirian dan etika kerja juga merupakan barier atas berbagai intervensi.
PENYIDIK BERPANGKAT
Oleh: AKBP Dr. Chryshnanda Dwilaksana*)
Media Pembaharuan Jakarta,- Dalam menegakkan hukum idealnya penyidik tidak bisa diintervensi. Namun pada kenyataanya banyak kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi bahkan mengintervensi proses penyidikan.
Ungkapan salah seorang penyidik yang kesal atas intervensi pada proses penyidikan mengatakan: "kita ini penyidik yang tidak bisa diintervensi, tapi kita ini berpangkat". Makna dari ungkapan tadi dapat dipahmi bahwa walaupun penyidik itu independen, namun ia tetap harus patuh + taat serta loyal kepada atasan/pimpinan yang pangkatnya lebih tinggi. Ini mencerminkan birokrasi yang patrimonial.
Pemimpin tertinggi menjadi pusat kekuasaan dan semua diputuskan oleh kebijakanya sendiri, rasionalisasi atas keputusan/kebijakan yang diambil biasanya lebih pada kebiasaan + akal sehat saja. tak jarang mengabaikan fakta-fakta kebenaran dan azas-azas penyidikan + penegakkan hukum.
Birokrasi yang patrimonial, para pemimpinya cenderung menjadi otoriter dan menggunakan kekuasaanya/kewenanganya atas dan demi kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Kebijakan-kebijakan yang diambil menjadi peluang terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Walaupun menyimpang namun diikuti juga oleh anak buahnya dan dijadikan acuan di antara mereka dengan membuat kesepakatan-kesepakatan sebagai bentuk penjabaran kebijakan pimpinan tersebut.
Ini yang dikenal sebagai diskresi birokrasi yang cenderung menjadi korupsi. Dikarenakan adanya peluang-peluang/potensi-potensi terjadinya penyimpangan. Kebijakan-kebjikan yang subyektif dan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu akan menjadi contoh atau dianggap sebagai pembenaran atas penyimpangan.
Menyimpangnya penyidikan dr azas-azas penegakan hukum menjadikan potensi-potensi penyimpangan yang lebih besar dan bertingkat tingkat serta bervariasi. Bisa menjadi grass eater (sekadar untuk hidup) atau pun meat eater (menumpuk kekayaan). Dampak penyidikan yang diintervensi /yang tidak taat azas menjadikan tumbuh dan berkembangnya sikap permisive atas penyimpangan-penyimpangan.
Walau penyidik berpangkat tetap harus profesional cara kerjanya dan memiliki standardisasi keberhasilan tugasnya. Akuntabilitasnya mencakup secara moral hukum, dan secara administrasi. Membangun sistem dan menerapkan standar-standar penyidikan menjadi bagian penting dalam membangun kemandirian dan etika kerja juga merupakan barier atas berbagai intervensi. (ABS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar