Jumat, 16 Januari 2015

SMS Bukan Penghinaan dan atau Pencemaran Nama Baik


Foto: SMS Bukan Penghinaan dan atau Pencemaran Nama Baik
Media Pembaharuan Selayar,- Terdakwa Drs. MUH. ARSAD mengimkan masalahnya lewat Akun Facebooknya  pada tanggal 17/1/2015, yangmana dalam hal ini Senin, 12 Januari 2015, Panitera Pengadilan Negeri Selayar telah mengirim Berkas Perkara Nomor : 78/Pid.Sus/2014/PN.Slr Tanggal 17 September 2014 yang saya ajukan kasasinya dengan Surat Pengantar Nomor : W22.U17/18/HPDN.05.10/I/2015 Tanggal 12 Januari 2015 perihal pengiriman Beras Perkara Pidana Kasasi yang ditujukan kepada Dirjen Peradilan Umum Cq. Dirjen Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Mahkamah Agung RI Jl. Medan Merdeka Utara Nomor 9-13 Jakarta Pusat.
Pengiriman Kasasi ini saya lakukan karena saya sebagai Terdakwa tidak menerima putusan Pengadilan Tinggi Makassar yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Selayar berdasarkan putusan Nomor : 299/Pid.Sus/2014/PT.MKS Tanggal 11 November 2014. Putusan Pengadilan Tinggi Makassar tersebut telah membenarkan amar putusan Pengadilan Negeri Selayar yang menyatakan bahwa :
“ 1.  Menyatakan Terdakwa Drs. MUH. ARSAD, MM Bin SEPPE terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja dan Tanpa Hak mentransmisikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”.
  2.  Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Drs. MUH. ARSAD, MM Bin SEPPE dengan Pidana Penjara selama 1 (satu) tahun.
  3.  dst………… “
Bunyi amar putusan Pengadilan Negeri Selayar tersebut pada angka 1 di atas merupakan pelanggaran terhadap Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena perbuatan saya mengirimkan sejumlah SMS kepada Bupati Kepulauan Selayar H. SYAHRIR WAHAB yang membuatnya merasa ditakut-takuti, terhina dan tidak konsen dalam berpikir dan bekerja.
Pertanyaannya kemudian adalah “Benarkah SMS mengandung unsur penghinaan dan atau pencemaran nama baik sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa Penuntut Umum dan kemudian dilegalisasi oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Selayar Nomor : 78/Pid.Sus/2014/PN.Sly Tanggal 17 September 2014 ?”.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita cermati bersama ketentuan Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan sebagai berikut :
“ Pasal 310
(1)    Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2)    Jika itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3)    Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum karena terpaksa untuk membela diri
Ketentuan Pasal 310 KUHP ini sangat penting dikemukakan karena Pasal inilah yang menjadi dasar utama bagi tindak pidana penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Hal tersebut ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor : 14/PUU-VI/2008 dalam pertimbangan tentang konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yaitu antara lain : Kelima, bahwa penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum yang termuat dalam Bab XVI tentang penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga Konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 30 dan Pasal 311 KUHP”.
Berdasarkan penegasan pertimbangan konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi (MK) ini, maka tidak salah apabila H. ADAMI CHAZAWI menyatakan bahwa : Dalam UU ITE tidak ada penjelasan mengenai arti juridis istilah pencemaran. Maka itu Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan Lex Specialis dari Pasal 310 ayat (1) KUHP. Untuk mencari arti juridis arti pencemaran dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, harus melihat pencemaran dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Dalam hal ini Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dianggap Lex Specialis dari Pasal 310 ayat (1) KUHP. Arti juridis yang sama dengan pencemaran (Smaad) dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP “(Baca Artikel H.ADAMI CHAZAWI tanggal 3-8-2011 yang berjudul : Kajian Juridis PK Ibu Prita )”.
Mengapa kaitan antara Pasal 310 KUHP dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE penting dikemukakan disini karena dakwaan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Selayar ANDI HEBAT, SH terhadap saya sebagai Terdakwa adalah Pasal Tunggal yaitu Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (3) UU ITE tanpa mengikutsertakan sama sekali Pasal 310 KUHP dengan pertimbangan hukum yang sangat sederhana yaitu bahwa “Pasal 310 penghinaan dan/atau pencemaran nama baik harus ada unsur diketahui umum, sedangkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak ada unsur diketahui umum”. Pertimbangan hukum dari Jaksa Penuntut Umum ini, menurut hemat saya menjadi “Sangat Lucu” karea kesederhanannya dalam memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagaimana dan dimana unsur penghinaan dan pencemaran nama baiknya kalau tidak ada unsur diketahui umum ?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh JOSUA SITOMPUL dalam bukunya yang berjudul “CYBERSPACE, CYBERCRIMES, CYBERLAW, Tinjauan Aspek Hukum Pidana, halaman 183 – 184, sebagai berikut :
“Esensi penghinaan baik dalam Realspace maupun dalam Cyberspace adalah sama, yaitu menyerang kehormatan atau nama baik orang lain untuk diketahui umum atau sehingga diketahui oleh umum. Oleh karena itu, unsur ”mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan “membuat dapat diaksesnya” dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE ialah tindakan-tindakan dalam dunia siber yang dapat mencapai pemenuhan unsure “dimuka umum” atau “diketahui umum”. Tindakan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya dilakukan dalam rangka atau agar informasi atau dokumen elektronik dapat diketahui oleh umum. Dengan demikian, unsure “dimuka umum” atau “diketahui umum” yang menjadi esensi pasal 310 KUHP menjadi satu ruh dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE sehingga harus tetap dibuktikan terpenuhinya unsure tersebut”.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan transmisi ialah mengirimkan dari satu tempat atau orang ke tempat atau orang lain. Jika unsur ini diterapkan secara harfiah maka pengiriman SMS dari satu orang kepada orang lain yang berisi penghinaan telah memenuhi unsur “mentransmisikan”. Akan tetapi pada hakekatnya tidak ada unsur penghinaan disana karena penghinaan tersebut tidak diketahui umum. Demikian juga tindakan pengirian e-mail dari satu kepada orang lain. Maksud unsur “mentransmisikan” dalam Pasal 27 ayat (3) ialah mengirimkan informasi atau dokumen elektronik dari satu orang atau satu tempat ke tempat lain sehingga diketahui oleh umum”.
Kesaksian Bupati Kepulauan Selayar H. SYAHRIR WAHAB dalam persidangan tanggal 13 Agustus 2014 dengan mengakui bahwa SMS yang saya kirimkan hanya ditujukan kepada dirinya sendiri dan dia memperlihatkan kepada beberapa orang kroninya Drs. BASOK LEWA, RUSLI JAYA, MUSYTARI dan SAENUDDIN. P, SH membuktikan bahwa SMS yang saya kirimkan kepadanya tidak memenuhi unsur “dimuka umum” atau “diketahui umum”. Oleh karena itu, SMS yang saya kirimkan kepada Bupati Kepulauan Selayar H. SYAHRIR WAHAB bukanlah “PENGHINAAN” dan/atau “PENCEMARAN NAMA BAIK” sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan kemudian dilegalisasi oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Selayar dalam putusan Nomor : 78/Pid.Sus/2014/PN.Slr Tanggal 17 September 2014, putusan mana diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Makassar dalam Tingkat Banding Nomor : 299/PID.SUS/2014/PT.MKS Tanggal 11 November 2014.
Demikian tulisan ini saya buat sebagai inti dari Memori Kasasi yang saya ajukan ke Mahkamah Agung RI sebagai dasar bagi Majelis Hakim Agung Mahkamah Agung untuk memeriksa dan mengadili perkara ini secara adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. SMS bukanlah penghinaan dan pencemaran nama baik.
 Rutan Selayar, 16 Januari 2015
Muh. Arsad
Sebagai Bahan Petimbangan  Pembaca menyikapi persoalan Muh.Arsad adalah sebagai berikut :
Pasal Selundupan
Ervani merupakan orang ke-72 yang berurusan dengan UU ITE. Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Damar Juniarto mengatakan, sudah banyak orang yang menjadi korban UU ITE. 

Safenet mencatat, jumlah korban UU ITE terus meningkat. Media 2008-2011, rata-rata hanya satu orang yang menjadi korban setiap bulan. Sementara itu, tahun ini, hingga November sudah ada 42 orang yang menjadi korban, salah satunya Ervani. 

“Kami melihat bukan karena perkara etika, tapi ada celah hukum dalam UU ITE yang digunakan untuk memenjarakan orang lain,” ujarnya kepada Wartawan, Selasa 18 November 2014. 

Ia mengatakan, sejak awal tidak ada pasal pencemaran nama baik dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE. Namun, di tengah pembahasan tiba-tiba "pasal karet" itu muncul. “Dia diselundupkan,” Damar menambahkan. 

Wahyudi Djafar menyampaikan hal senada. Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) ini mengatakan, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE baru masuk dalam pembahasan di DPR. Sebab, dari risalah sidang, tidak ada pasal pencemaran nama baik dalam RUU usulan pemerintah ini. 

Menurut dia, pasal 27 ayat 3 UU ITE seperti alat balas dendam. Sebab, orang begitu mudah melaporkan orang lain dan orang tersebut bisa dipenjara. 

Menurut Yudi, UU ITE tidak satu napas, karena berbagai hal digabung dalam satu UU. Pertama, UU ini mengatur penyediaan elektronik dan transaksi elektronik. Kedua, mengatur tentang legalitas data elektronik, tindak pidana cyber. 

Kemudian, juga mengatur soal perlindungan data pribadi. Selain soal intersepsi komunikasi. Di banyak negara, model pengaturan ini rata-rata dipisah dalam beberapa UU. 

“Nah, itulah yang kemudian menjadikan UU ITE dalam penerapannya seringkali bermasalah karena rujukan materinya sangat minim,” ujarnya saat ditemui Wartawan di kantornya, Selasa 18 November 2014.

Yudi menilai, UU ini juga bermasalah dan cacat, karena Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak menyediakan petunjuk teknis kepada polisi dan jaksa. Akibatnya, para pelaksana UU tersebut menafsirkan pasal 27 ayat 3 sesuai pendapat mereka. 

Seringkali penegak hukum tak bisa membedakan mana yang privat dan publik. Padahal, pencemaran nama baik seharusnya wilayah publik. 

Peneliti Elsam ini menjelaskan, semangat awal dari penyusunan dan pembentukan UU ITE adalah meningkatkan penggunaan transaksi elektronik dalam perniagaan. Selain itu, UU ini dimaksudkan agar publik menggunakan internet dengan baik. Tapi, dalam prosesnya, UU ITE justru lebih kental nuansa pembatasan. 

“Di naskah awal, selain kejahatan komputer yang diatur UU ITE, itu hanya perjudian dan pornoaksi dan pornografi. Tapi, kemudian prosesnya muncul kesusilaan, pencemaran nama baik, penyebaran kebencian berlatar SARA yang sebelumnya tidak ada,” ujar Yudi.

Pendapat senada disampaikan Margiono dari Indonesia Online Advocacy. Ia mengatakan, semangat awal dari UU ITE adalah melindungi netizen dan transaksi yang dilakukan melalui internet. 

Pada 2003, Indonesia di-black list e-commerce, karena terlalu banyak hacker. Yogyakarta bahkan ditetapkan sebagai kota paling banyak hacker kedua di dunia, karena banyak membobol barang lewat online. Dunia e-commerce menyatakan, di Indonesia tak ada hukum yang melindungi transaksi elektronik. Maka, semua transaksi dari Indonesia ditolak. 

Mereka mengultimatum, semua transaksi melalui internet akan diblok hingga Indonesia memiliki UU yang melindungi e-commerce. Makanya, UU ini awalnya diinisiasi oleh Departemen Perdagangan dan Perindustrian.

Margiono menduga, kondisi itu terjadi karena pemerintah dan DPR salah menafsirkan kata informasi. Menurut dia, sebenarnya informasi yang dimaksud dalam UU itu adalah lex informatica. Ini UU tentang informatika dan komputer bukan UU tentang pengetahuan informasi. 

“Bahasa ilmiah hukum itu lex informatica,” ujarnya. “Saya nggak tahu, orang DPR artikan informasi itu berita, sehingga nggak nyambung antara informasi dan transaksi elektronik. Ini klusternya saja sudah beda.”

Yudi mengatakan, pasal 27 ayat 3 merupakan pasal selundupan. Karena, sebelumnya tidak ada pasal tersebut. Namun, tiba-tiba muncul dengan ancaman hukuman yang begitu tinggi. 

Menurut dia, dalam naskah awal, semua tindak pidana ancamannya tak lebih dari tiga tahun. 

Namun, hasil akhir pembahasan RUU ITE ancaman hukumannya sangat tinggi, yakni enam tahun. Pemerintah dituding sebagai pihak yang pertama kali mengusulkan agar ada pasal pencemaran nama baik dalam pembahasan UU ITE. Yudi mengatakan, lontaran itu langsung disambut oleh parlemen.

Hal itu dibenarkan Abdul Hakam Naja, anggota dewan asal PAN yang ikut membahas UU ITE. 

Ia mengatakan, usulan pasal pencemaran nama baik itu berasal dari pemerintah, bukan DPR. Menurut dia, DPR lebih banyak ngerem dibanding ngegas. Menurut dia, parlemen justru menekan berbagai hukuman berat yang diajukan pemerintah. 

Meski demikian, ia sepakat dengan pasal tersebut karena itu juga diatur dalam KUHP. Bedanya, kalau dilakukan di media eletronik belum diatur. “Dunia maya nggak ada aturannya waktu itu,” ujarnya kepada VIVAnews, Jumat 21 November 2014.

Perumus UU ITE Profesor Ramli menyatakan, pasal pencemaran nama baik merupakan usulan dari dari tim pemerintah. Hal itu dilakukan karena pasal pencemaran nama baik ada di KUHP. “Kalau enggak, bisa seperti di hutan belantara tanpa ada batasan. Harus fair bagaimana bila dirinya menjadi korban,” ujar guru besar Universitas Padjajaran, Bandung ini. 

Menurut dia, pasal itu dimasukkan karena tiap orang tidak boleh mengganggu hak orang lain. “Semua secara internasional menolak,” dirjen HAKI ini menambahkan.

Namun, Kementerian Kominfo membantah tudingan tersebut. Kepala Humas Kominfo Ismail Cawidu mengatakan, pada draf awal yang disiapkan pemerintah, belum ada pasal yang mengatur pencemaran nama baik, hanya ada larangan menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan pornografi, pornoaksi, dan perjudian, dan atau tindak kekerasan melalui komputer atau sistem elektronik. 

“Usulan untuk menambahkan ketentuan mengenai pencemaran nama baik muncul dari anggota DPR RI pada sidang-sidang 2006-2007 di DPR,” ujarnya kepada Wartawan, Jumat, 21 November 2014.

Sementara itu, pakar hukum Pidana UI, Ganjar LB Bondan, mengatakan, tidak ada yang salah dengan UU ITE. Menurut dia, yang salah adalah penegak hukum yang terlalu "gatal". Kemudian, yang melaporkan juga terlalu "genit". Penegak hukum sepertinya tidak paham membedakan mana yang pencemaran nama baik dan mana yang kritik. 

“Saya melihat penegak hukum tidak mampu membedakan kritik lewat sosmed itu,” tuturnya.
Desakan Revisi
Margiono mengatakan, jika UU ITE tak direvisi atau dihapus pasal pencemaran nama baik, dipastikan korban UU itu akan terus meningkat seiring peningkatan jumlah pengguna internet. 

“Selama pasal itu ada, apa saja ya bisa dijerat. Mau kita ngomong di Facebook, Twitter, atau blog, akan makin meningkat, sebab semakin tersosialisasi. Polisi, pengacara, orang selalu pakai pasal itu. Kecuali pasal itu sudah tidak ada,” ujarnya.

Sebab, ia menilai pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE sangat multitafsir, berbeda dengan KUHP. Dalam KUHP, pasal penghinaan diatur secara jelas. Untuk itu, ia mendorong agar beleid 

tersebut direvisi. Selain itu, Margiono mengusulkan agar Mahkamah Agung (MA) membuat surat edaran terkait moratorium pasal pencemaran nama baik di UU ITE. 

Desakan senada disampaikan Damar Juniarto. Ia juga mengusulkan agar MA menerbitkan surat edaran yang menyerukan agar hakim tidak menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE. 

Ismail Cawidu mengatakan, Kementerian Kominfo menyatakan sudah menyusun perubahan UU ITE sejak 2011, terutama terkait dengan ancaman pidana untuk pelaku pencemaran nama baik diturunkan dari enam tahun menjadi dua tahun. Alasan menurunkan ancaman pidana agar tidak terlalu jauh dari KUHP.  

Menurut sejumlah ahli pidana, dua tahun sudah cukup memadai untuk dikenakan kepada pelaku pencemaran nama baik. Dengan penurunan ancaman hukuman itu, maka tidak perlu dilakukan penahanan terhadap pelaku. Kementerian ini berjanji akan berupaya agar revisi UU ITE masuk prolegnas 2015-2019 dan masuk Prioritas Pembahasan 2015. 

Wakil Ketua Komisi I DPR 2014-2019, Tantowi Yahya menyambut baik rencana pemerintah yang akan mengajukan revisi UU ITE. Ketua DPP Partai Golkar ini mengatakan, UU tersebut sudah saatnya untuk diamendemen, khususnya pasal 27 yang menjadi "jebakan Batman" bagi masyarakat yang baru saja berimigrasi dari masyarakat konvensional ke masyarakat digital. 

Menurut dia, ada dua persoalan di UU tersebut. Pertama, ketidaksengajaan menurut pasal 27 yang berimplikasi pidana. “Banyak masyarakat yang melanggar pasal tersebut karena tidak tahu. Kedua, kurangnya sosialisasi terhadap UU tersebut,” kata dia. (ABS).Media Pembaharuan Selayar,- Terdakwa Drs. MUH. ARSAD mengimkan masalahnya lewat Akun Facebooknya pada tanggal 17/1/2015, yangmana dalam hal ini Senin, 12 Januari 2015, Panitera Pengadilan Negeri Selayar telah mengirim Berkas Perkara Nomor : 78/Pid.Sus/2014/PN.Slr Tanggal 17 September 2014 yang saya ajukan kasasinya dengan Surat Pengantar Nomor : W22.U17/18/HPDN.05.10/I/2015 Tanggal 12 Januari 2015 perihal pengiriman Beras Perkara Pidana Kasasi yang ditujukan kepada Dirjen Peradilan Umum Cq. Dirjen Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Mahkamah Agung RI Jl. Medan Merdeka Utara Nomor 9-13 Jakarta Pusat.
Pengiriman Kasasi ini saya lakukan karena saya sebagai Terdakwa tidak menerima putusan Pengadilan Tinggi Makassar yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Selayar berdasarkan putusan Nomor : 299/Pid.Sus/2014/PT.MKS Tanggal 11 November 2014. Putusan Pengadilan Tinggi Makassar tersebut telah membenarkan amar putusan Pengadilan Negeri Selayar yang menyatakan bahwa :
“ 1. Menyatakan Terdakwa Drs. MUH. ARSAD, MM Bin SEPPE terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja dan Tanpa Hak mentransmisikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Drs. MUH. ARSAD, MM Bin SEPPE dengan Pidana Penjara selama 1 (satu) tahun.
3. dst………… “
Bunyi amar putusan Pengadilan Negeri Selayar tersebut pada angka 1 di atas merupakan pelanggaran terhadap Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena perbuatan saya mengirimkan sejumlah SMS kepada Bupati Kepulauan Selayar H. SYAHRIR WAHAB yang membuatnya merasa ditakut-takuti, terhina dan tidak konsen dalam berpikir dan bekerja.
Pertanyaannya kemudian adalah “Benarkah SMS mengandung unsur penghinaan dan atau pencemaran nama baik sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa Penuntut Umum dan kemudian dilegalisasi oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Selayar Nomor : 78/Pid.Sus/2014/PN.Sly Tanggal 17 September 2014 ?”.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita cermati bersama ketentuan Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan sebagai berikut :
“ Pasal 310
(1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum karena terpaksa untuk membela diri
Ketentuan Pasal 310 KUHP ini sangat penting dikemukakan karena Pasal inilah yang menjadi dasar utama bagi tindak pidana penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Hal tersebut ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor : 14/PUU-VI/2008 dalam pertimbangan tentang konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yaitu antara lain : Kelima, bahwa penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum yang termuat dalam Bab XVI tentang penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga Konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 30 dan Pasal 311 KUHP”.
Berdasarkan penegasan pertimbangan konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi (MK) ini, maka tidak salah apabila H. ADAMI CHAZAWI menyatakan bahwa : Dalam UU ITE tidak ada penjelasan mengenai arti juridis istilah pencemaran. Maka itu Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan Lex Specialis dari Pasal 310 ayat (1) KUHP. Untuk mencari arti juridis arti pencemaran dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, harus melihat pencemaran dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Dalam hal ini Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dianggap Lex Specialis dari Pasal 310 ayat (1) KUHP. Arti juridis yang sama dengan pencemaran (Smaad) dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP “(Baca Artikel H.ADAMI CHAZAWI tanggal 3-8-2011 yang berjudul : Kajian Juridis PK Ibu Prita )”.
Mengapa kaitan antara Pasal 310 KUHP dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE penting dikemukakan disini karena dakwaan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Selayar ANDI HEBAT, SH terhadap saya sebagai Terdakwa adalah Pasal Tunggal yaitu Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (3) UU ITE tanpa mengikutsertakan sama sekali Pasal 310 KUHP dengan pertimbangan hukum yang sangat sederhana yaitu bahwa “Pasal 310 penghinaan dan/atau pencemaran nama baik harus ada unsur diketahui umum, sedangkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak ada unsur diketahui umum”. Pertimbangan hukum dari Jaksa Penuntut Umum ini, menurut hemat saya menjadi “Sangat Lucu” karea kesederhanannya dalam memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagaimana dan dimana unsur penghinaan dan pencemaran nama baiknya kalau tidak ada unsur diketahui umum ?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh JOSUA SITOMPUL dalam bukunya yang berjudul “CYBERSPACE, CYBERCRIMES, CYBERLAW, Tinjauan Aspek Hukum Pidana, halaman 183 – 184, sebagai berikut :
“Esensi penghinaan baik dalam Realspace maupun dalam Cyberspace adalah sama, yaitu menyerang kehormatan atau nama baik orang lain untuk diketahui umum atau sehingga diketahui oleh umum. Oleh karena itu, unsur ”mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan “membuat dapat diaksesnya” dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE ialah tindakan-tindakan dalam dunia siber yang dapat mencapai pemenuhan unsure “dimuka umum” atau “diketahui umum”. Tindakan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya dilakukan dalam rangka atau agar informasi atau dokumen elektronik dapat diketahui oleh umum. Dengan demikian, unsure “dimuka umum” atau “diketahui umum” yang menjadi esensi pasal 310 KUHP menjadi satu ruh dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE sehingga harus tetap dibuktikan terpenuhinya unsure tersebut”.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan transmisi ialah mengirimkan dari satu tempat atau orang ke tempat atau orang lain. Jika unsur ini diterapkan secara harfiah maka pengiriman SMS dari satu orang kepada orang lain yang berisi penghinaan telah memenuhi unsur “mentransmisikan”. Akan tetapi pada hakekatnya tidak ada unsur penghinaan disana karena penghinaan tersebut tidak diketahui umum. Demikian juga tindakan pengirian e-mail dari satu kepada orang lain. Maksud unsur “mentransmisikan” dalam Pasal 27 ayat (3) ialah mengirimkan informasi atau dokumen elektronik dari satu orang atau satu tempat ke tempat lain sehingga diketahui oleh umum”.
Kesaksian Bupati Kepulauan Selayar H. SYAHRIR WAHAB dalam persidangan tanggal 13 Agustus 2014 dengan mengakui bahwa SMS yang saya kirimkan hanya ditujukan kepada dirinya sendiri dan dia memperlihatkan kepada beberapa orang kroninya Drs. BASOK LEWA, RUSLI JAYA, MUSYTARI dan SAENUDDIN. P, SH membuktikan bahwa SMS yang saya kirimkan kepadanya tidak memenuhi unsur “dimuka umum” atau “diketahui umum”. Oleh karena itu, SMS yang saya kirimkan kepada Bupati Kepulauan Selayar H. SYAHRIR WAHAB bukanlah “PENGHINAAN” dan/atau “PENCEMARAN NAMA BAIK” sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan kemudian dilegalisasi oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Selayar dalam putusan Nomor : 78/Pid.Sus/2014/PN.Slr Tanggal 17 September 2014, putusan mana diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Makassar dalam Tingkat Banding Nomor : 299/PID.SUS/2014/PT.MKS Tanggal 11 November 2014.
Demikian tulisan ini saya buat sebagai inti dari Memori Kasasi yang saya ajukan ke Mahkamah Agung RI sebagai dasar bagi Majelis Hakim Agung Mahkamah Agung untuk memeriksa dan mengadili perkara ini secara adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. SMS bukanlah penghinaan dan pencemaran nama baik.
Rutan Selayar, 16 Januari 2015
Muh. Arsad
Sebagai Bahan Petimbangan Pembaca menyikapi persoalan Muh.Arsad adalah sebagai berikut :
Pasal Selundupan
Ervani merupakan orang ke-72 yang berurusan dengan UU ITE. Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Damar Juniarto mengatakan, sudah banyak orang yang menjadi korban UU ITE.

Safenet mencatat, jumlah korban UU ITE terus meningkat. Media 2008-2011, rata-rata hanya satu orang yang menjadi korban setiap bulan. Sementara itu, tahun ini, hingga November sudah ada 42 orang yang menjadi korban, salah satunya Ervani.

“Kami melihat bukan karena perkara etika, tapi ada celah hukum dalam UU ITE yang digunakan untuk memenjarakan orang lain,” ujarnya kepada Wartawan, Selasa 18 November 2014.

Ia mengatakan, sejak awal tidak ada pasal pencemaran nama baik dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE. Namun, di tengah pembahasan tiba-tiba "pasal karet" itu muncul. “Dia diselundupkan,” Damar menambahkan.

Wahyudi Djafar menyampaikan hal senada. Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) ini mengatakan, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE baru masuk dalam pembahasan di DPR. Sebab, dari risalah sidang, tidak ada pasal pencemaran nama baik dalam RUU usulan pemerintah ini.

Menurut dia, pasal 27 ayat 3 UU ITE seperti alat balas dendam. Sebab, orang begitu mudah melaporkan orang lain dan orang tersebut bisa dipenjara.

Menurut Yudi, UU ITE tidak satu napas, karena berbagai hal digabung dalam satu UU. Pertama, UU ini mengatur penyediaan elektronik dan transaksi elektronik. Kedua, mengatur tentang legalitas data elektronik, tindak pidana cyber.

Kemudian, juga mengatur soal perlindungan data pribadi. Selain soal intersepsi komunikasi. Di banyak negara, model pengaturan ini rata-rata dipisah dalam beberapa UU.

“Nah, itulah yang kemudian menjadikan UU ITE dalam penerapannya seringkali bermasalah karena rujukan materinya sangat minim,” ujarnya saat ditemui Wartawan di kantornya, Selasa 18 November 2014.

Yudi menilai, UU ini juga bermasalah dan cacat, karena Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak menyediakan petunjuk teknis kepada polisi dan jaksa. Akibatnya, para pelaksana UU tersebut menafsirkan pasal 27 ayat 3 sesuai pendapat mereka.

Seringkali penegak hukum tak bisa membedakan mana yang privat dan publik. Padahal, pencemaran nama baik seharusnya wilayah publik.

Peneliti Elsam ini menjelaskan, semangat awal dari penyusunan dan pembentukan UU ITE adalah meningkatkan penggunaan transaksi elektronik dalam perniagaan. Selain itu, UU ini dimaksudkan agar publik menggunakan internet dengan baik. Tapi, dalam prosesnya, UU ITE justru lebih kental nuansa pembatasan.

“Di naskah awal, selain kejahatan komputer yang diatur UU ITE, itu hanya perjudian dan pornoaksi dan pornografi. Tapi, kemudian prosesnya muncul kesusilaan, pencemaran nama baik, penyebaran kebencian berlatar SARA yang sebelumnya tidak ada,” ujar Yudi.

Pendapat senada disampaikan Margiono dari Indonesia Online Advocacy. Ia mengatakan, semangat awal dari UU ITE adalah melindungi netizen dan transaksi yang dilakukan melalui internet.

Pada 2003, Indonesia di-black list e-commerce, karena terlalu banyak hacker. Yogyakarta bahkan ditetapkan sebagai kota paling banyak hacker kedua di dunia, karena banyak membobol barang lewat online. Dunia e-commerce menyatakan, di Indonesia tak ada hukum yang melindungi transaksi elektronik. Maka, semua transaksi dari Indonesia ditolak.

Mereka mengultimatum, semua transaksi melalui internet akan diblok hingga Indonesia memiliki UU yang melindungi e-commerce. Makanya, UU ini awalnya diinisiasi oleh Departemen Perdagangan dan Perindustrian.

Margiono menduga, kondisi itu terjadi karena pemerintah dan DPR salah menafsirkan kata informasi. Menurut dia, sebenarnya informasi yang dimaksud dalam UU itu adalah lex informatica. Ini UU tentang informatika dan komputer bukan UU tentang pengetahuan informasi.

“Bahasa ilmiah hukum itu lex informatica,” ujarnya. “Saya nggak tahu, orang DPR artikan informasi itu berita, sehingga nggak nyambung antara informasi dan transaksi elektronik. Ini klusternya saja sudah beda.”

Yudi mengatakan, pasal 27 ayat 3 merupakan pasal selundupan. Karena, sebelumnya tidak ada pasal tersebut. Namun, tiba-tiba muncul dengan ancaman hukuman yang begitu tinggi.

Menurut dia, dalam naskah awal, semua tindak pidana ancamannya tak lebih dari tiga tahun.

Namun, hasil akhir pembahasan RUU ITE ancaman hukumannya sangat tinggi, yakni enam tahun. Pemerintah dituding sebagai pihak yang pertama kali mengusulkan agar ada pasal pencemaran nama baik dalam pembahasan UU ITE. Yudi mengatakan, lontaran itu langsung disambut oleh parlemen.

Hal itu dibenarkan Abdul Hakam Naja, anggota dewan asal PAN yang ikut membahas UU ITE.

Ia mengatakan, usulan pasal pencemaran nama baik itu berasal dari pemerintah, bukan DPR. Menurut dia, DPR lebih banyak ngerem dibanding ngegas. Menurut dia, parlemen justru menekan berbagai hukuman berat yang diajukan pemerintah.

Meski demikian, ia sepakat dengan pasal tersebut karena itu juga diatur dalam KUHP. Bedanya, kalau dilakukan di media eletronik belum diatur. “Dunia maya nggak ada aturannya waktu itu,” ujarnya kepada VIVAnews, Jumat 21 November 2014.

Perumus UU ITE Profesor Ramli menyatakan, pasal pencemaran nama baik merupakan usulan dari dari tim pemerintah. Hal itu dilakukan karena pasal pencemaran nama baik ada di KUHP. “Kalau enggak, bisa seperti di hutan belantara tanpa ada batasan. Harus fair bagaimana bila dirinya menjadi korban,” ujar guru besar Universitas Padjajaran, Bandung ini.

Menurut dia, pasal itu dimasukkan karena tiap orang tidak boleh mengganggu hak orang lain. “Semua secara internasional menolak,” dirjen HAKI ini menambahkan.

Namun, Kementerian Kominfo membantah tudingan tersebut. Kepala Humas Kominfo Ismail Cawidu mengatakan, pada draf awal yang disiapkan pemerintah, belum ada pasal yang mengatur pencemaran nama baik, hanya ada larangan menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan pornografi, pornoaksi, dan perjudian, dan atau tindak kekerasan melalui komputer atau sistem elektronik.

“Usulan untuk menambahkan ketentuan mengenai pencemaran nama baik muncul dari anggota DPR RI pada sidang-sidang 2006-2007 di DPR,” ujarnya kepada Wartawan, Jumat, 21 November 2014.

Sementara itu, pakar hukum Pidana UI, Ganjar LB Bondan, mengatakan, tidak ada yang salah dengan UU ITE. Menurut dia, yang salah adalah penegak hukum yang terlalu "gatal". Kemudian, yang melaporkan juga terlalu "genit". Penegak hukum sepertinya tidak paham membedakan mana yang pencemaran nama baik dan mana yang kritik.

“Saya melihat penegak hukum tidak mampu membedakan kritik lewat sosmed itu,” tuturnya.
Desakan Revisi
Margiono mengatakan, jika UU ITE tak direvisi atau dihapus pasal pencemaran nama baik, dipastikan korban UU itu akan terus meningkat seiring peningkatan jumlah pengguna internet.

“Selama pasal itu ada, apa saja ya bisa dijerat. Mau kita ngomong di Facebook, Twitter, atau blog, akan makin meningkat, sebab semakin tersosialisasi. Polisi, pengacara, orang selalu pakai pasal itu. Kecuali pasal itu sudah tidak ada,” ujarnya.

Sebab, ia menilai pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE sangat multitafsir, berbeda dengan KUHP. Dalam KUHP, pasal penghinaan diatur secara jelas. Untuk itu, ia mendorong agar beleid

tersebut direvisi. Selain itu, Margiono mengusulkan agar Mahkamah Agung (MA) membuat surat edaran terkait moratorium pasal pencemaran nama baik di UU ITE.

Desakan senada disampaikan Damar Juniarto. Ia juga mengusulkan agar MA menerbitkan surat edaran yang menyerukan agar hakim tidak menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE.

Ismail Cawidu mengatakan, Kementerian Kominfo menyatakan sudah menyusun perubahan UU ITE sejak 2011, terutama terkait dengan ancaman pidana untuk pelaku pencemaran nama baik diturunkan dari enam tahun menjadi dua tahun. Alasan menurunkan ancaman pidana agar tidak terlalu jauh dari KUHP.

Menurut sejumlah ahli pidana, dua tahun sudah cukup memadai untuk dikenakan kepada pelaku pencemaran nama baik. Dengan penurunan ancaman hukuman itu, maka tidak perlu dilakukan penahanan terhadap pelaku. Kementerian ini berjanji akan berupaya agar revisi UU ITE masuk prolegnas 2015-2019 dan masuk Prioritas Pembahasan 2015.

Wakil Ketua Komisi I DPR 2014-2019, Tantowi Yahya menyambut baik rencana pemerintah yang akan mengajukan revisi UU ITE. Ketua DPP Partai Golkar ini mengatakan, UU tersebut sudah saatnya untuk diamendemen, khususnya pasal 27 yang menjadi "jebakan Batman" bagi masyarakat yang baru saja berimigrasi dari masyarakat konvensional ke masyarakat digital.

Menurut dia, ada dua persoalan di UU tersebut. Pertama, ketidaksengajaan menurut pasal 27 yang berimplikasi pidana. “Banyak masyarakat yang melanggar pasal tersebut karena tidak tahu. Kedua, kurangnya sosialisasi terhadap UU tersebut,” kata dia. (ABS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar